Bapak, Imam Musala dan Pendekar yang Bersahaja
Manusia yang tidak banyak bicara.
Namun terkandung ibrah di setiap laku perbuatannya.
Ketika
tidak bisa hadir dalam upacara purna jabatan, saya kecewa, namun tidak perlu
kecewa secara berlebih, bak laku bapak dalam kehidupan, pedih dan berat dalam
menyangga kehidupan tidak perlu semua orang tahu, cukup disampaikan kepada
angin malam atau orang-orang tersayang, seperti ibu.
Namun,
lain sisi aku juga bahagia. Karena bapak tidak membangunkan saya dari tidur
panjang, mungkin bapak tahu, ketika dini hari, suara tuts keyboard masih berbunyi hingga azan subuh mengambang di
cakrawala Surga Pojok Kota.
Bapak,
diusiamu yang semakin senja. Aku belum bisa memberikan apa-apa, hanya menyusun
aksara, menikmati aksara, dan melakukan tafsir terhadap alam raya. Alangkah
takjubnya, bapak tidak pernah melarang saya untuk menjadi apa. Menjadi apapun
itu, yang terpenting jangan lupa menunaikan kewajiban salat wabilkhusus salat lima waktu.
Berbagai
rentetan persitiwa telah berlalu. Dari yang menganggap akan sukses di Kota Pahlawan
dan menuju Natherlands, namun aku mengambil jalan lain diluar harapan. Dalam
kekecewaan terkandung ibrah/pelajaran yang luar biasa untuk mengarungi samudera
kehidupan yang fana dan penuh tanda tanya ini.
Bapak,
kawan yang setia dikala suka maupun duka. Senantiasa mendukung pilihan hidup,
membelikan buku, mengantarkanku ke toko buku ketika masih duduk di bangku putih
hijau, dan sebagai contoh berislam yang santai plus ora gumunan.
Meski
sehari-hari menjadi imam musala di kampung, menjadi imam tarawih saban
ramadhan, dan spesialis mahalul qiyam di
beberapa acara kampung. Bapak merupakan orang yang biasa. Bergaul dengan siapa
saja. Hobi main bola, bersepada, lari, dan lain sebagainya. Hal ihwal olahraga,
aku dan bapak tidak sebanding. Sebanding dalam hal tidak banyak bicara, namun
berbeda jauh dalam hal olahraga. Kalau saya, sedikit bicara, banyak tidurnya,
wqwqwq. Kalau bapak, sedikit bicara, banyak aktivitasnya.
Selain
itu, bapak merupakan seorang pendekar dari sebuah perguruan pencak silat yang
berpusat di Madiun. Aku takjub, bapak tidak pernah bercerita yang muluk-muluk
atau bahkan hingga sundul langit
tentang pengalamannya berpencak silat. Tidak banyak bicara, namun kalau marah,
saya takut bukan main. Episode kemarahan bapak, terekam dalam memori kecilku,
waktu kecil dan hingga sekarang, saya agak ndableg.
Kalau dulu, ketika tidak mau ngaji, malas belajar matematika di sebuah
bimbingan belajar yang ada di kota, dan malas salat, langsung, sabuk menghujam
tubuhku. Atau ciduk alias gayung pernah melayang di kepalaku.
Namun, dulu saya sangat benci peristiwa itu, namun sekarang, saya sadar, itu
merupakan bentuk kasih sayang seorang bapak terhadap anaknya.
Ada
saatnya saya bosan. Ketika masih kecil, saya bunuh kebosanan dengan menggambar
dan mewarnai objek, menulis apa saja, dan bersepeda. Hingga pernah, pada suatu
waktu, ada jadwal mengaji, saya penat dan bosan dengan aktivitas yang penuh
saban hari, saya berangkat menggunakan sepeda, bukan ke tempat ngaji, melainkan
ke beberapa objek yang menurut saya menarik, wqwqwq.
Saya
mengarahkan sepeda ke Stadion LHS. Melepas kopiah, dan memasukkan ke dalam tas.
Menikmati pemandangan alam di stadion, dan menyaksikan pemain sepak bola yang
sedang latihan. Lalu-lalang penjual es, tahu, lumpia, dan pentol, membuat semakin
hidup suasana stadion. Selain di stadion, saya mengayuh sepeda ke pasar halte
yang sekarang sudah berubah rupa. Ada pohon beringin besar, di hari-hari
tertentu, ada orang yang berjualan kembang.
Saya
menuju di sebuah tempat yang berada di pojok pasar. Memarkir sepeda, dan duduk
termenung di sekitar dataran hijau yang dibatasi oleh tanggul. Saya
membayangkan, sedang berada di tempat lain, seperti di negeri dongeng.
Menikmati kesendirian, menyaksikan awan yang berlalu secara perlahan,
burung-burung yang terbang dengan riang, dan rumput-rumput yang bergoyang
ketika dibelai angin. Setelah itu, saya mengayuh sepeda ke rumah, membuka tas,
dan membuka kembali kitab yang dipelajari, dan setelah itu ke luar rumah,
bermain bersama kawan-kawan. Membuka tas dan membuka kitab, hanya sebatas
metafora sehabis ngangsu kaweruh di
masjid. Padahal, ngangsu kaweruhnya tidak
di masjid, melainkan di alam raya.
Waktu
terus berlalu, bapak semakin bertambah usia. Periode demi periode telah
terlampaui. Periode angon wedhus,
menjadi bagian dari pertahanan sipil, diangkat menjadi aparatur sipil negara,
rumor kepindahan ke daerah perbatasan, e.g.: Aceh dan Papua (bapak selalu siap
apabila dipindah), periode bapak ditugaskan di bagian lapangan, di perkantoran,
di bagian siaran, dan purna.
November,
2021. Merupakan waktu menjelang purna tugas. Sebenarnya, tulisan ini, dibuat
untuk ulang tahun bapak yang entah keberapa (saya lupa). Dan untuk menyambut upacara
purna jabatan bapak pada Desember 2021. Berhubung ada beberapa kegiatan di luar
kota dan tentunya rasa malas, baru bisa ditulis pada awal tahun 2022.
Tetapi,
tidak apalah. Semoga tidak mengurangi esensi dari tulisan ini. Selamat
bertambah usia dan purna jabatan, el
comandante! Selamat menikmati masa tua bersama bunda/ibu. Selamat, menyusun
arsip kehidupan, dan terima kasih telah memberi contoh merawat memorabilia
dalam wujud dokumen tua, merawat sepeda onthel,
dan berdialektika, kerena tidak menutup kemungkinan akan ada perbedaan pendapat
dalam beberapa hal, yang selesai dalam parlemen keluarga, di meja makan, atau
di ruang tengah. Terima kasih, telah memberi contoh berbagi peran bersama ibu
(buruh masak lintas kota) dalam keluarga dengan sabar, menggurat karya di desa
bersama Mas Yoga, dan semoga senantiasa menjadi manusia yang memanusiakan
manusia.