Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memorabilia Tahun Baru Islam

 

Tahun baru Islam dan Masehi itu berbeda. Dari segi kata penyusun kalimatnya saja sudah berbeda. Namun tak usahlah memperdebatkan lebih jauh mengenai perbedaan itu. Intinya sama-sama ada kata “baru” dan mari kita bergerak (lebih baik lagi) di tahun 1442 Hijriyah.   

 

 

 



Ketika mendengar tahun baru Islam atau istilah dalam bahasa Jawa ‘suro’, ada beberapa memorabilia dari saya. Saban usia dalam memperingati tahun baru Islam berbeda. Ketika masa anak-anak, di saat Muharram menyapa, guru-guru Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) akan mengajak rihlah muridnya. Seingat dan sepengetahuan saya, pernah menggunakan sepur mini untuk menuju tempat wisata yang ada di Dander.

 

Waktu itu, perjalanan terasa amat sangat jauh. Mata saya menikmati pemandangan alam dan buatan yang dilintasi sepur mini. Pada waktu itu, sepur mini semacam medan magnet yang besar. Kehadirannya senantiasa dinanti oleh anak-anak.

 

Selain itu, juga pernah ketika Muharram tiba, kita diajak pawai ta’aruf. Ya, jalan-jalan santai bersama kawan-kawan. Ketika aku mengaji di sebuah TPA yang terkenal dengan cerita wit kepoh, pada hari tertentu mengenakan pakain merah muda dan celana cokelat dan tidak lupa kopiah putih bak mahkota raja.

 

Ketika ngansu kaweruh di Taman Kanak-kanak (TK) seingat saya, peringatan hari besar Islam seperti Muharraman digelar dengan sederhana. Seperti mendatangkan penceramah agama dari desa, dan kita diharuskan membawa makanan ringan dan minuman sesuai dengan selera saban individu. Ketika masa anak-anak, ihwal beli jajan merupakan suatu hal yang menyenangkan. Tak jarang pada masa itu, lebih fokus menunggu waktu makan jajanan yang dibawa, dari pada mendengarkan dengan seksama penceramah.

 

Hal itu tidak jauh berbeda ketika duduk di bangku Ibtidaiyah. Ketika muharram tiba, dalam rangka menghidupkan dan meramaikannya juga disertai dengan ceramah agama, selain itu juga ada perlombaan seperti: mewarnai kaligrafi, lomba azan, dan lain-lain.

 

Lanjut di bangku Tsanawiyah, serupa namun tak sama. Perbedaan terletak pada waktu, panitia, dan lain sebagainya. Begitupun ketika duduk di bangku Aliyah. Ihwal yang amat sangat berbeda dari perayaan sebelumnya ialah pasca Aliyah.

 

Ketika berada di Kota Pahlawan, seingat dan sepengetahuan saya, ketika Muharram tiba, di sore hari selepas asar menjelang maghrib aku berhenti di masjid kampus. Menyaksikan alunan angin yang menghempaskan dedaunan. Selain itu juga, mendengarkan alunan air yang mengalir dengan tenang di danau kampus yang sekarang sudah tidak bisa ditemui lagi.

 

Beragam pamflet acara keagamaan membanjiri galeri gawai. Dari acara di tingkat program studi, fakultas, badan semi otonom, hingga universitas. Tentu saya tidak bisa mengikuti semua acara, hanya bisa mengikuti acara yang kiranya saya bisa ikuti.

 

Ketika duduk di depan masjid sembari merapikan tali sepatu, tak ada angin dan hujan aku menecoba untuk mengabadikan nuansa pada hari itu. Hingga sekarang, hanya foto yang bisa menjadi bukti, bahwa aku hidup pada hari itu. Tulisan yang saya buat di aplikasi notes yang ada di gawai, hilang bersama takdir. Pasalnya, gawai yang saya gunakan untuk menulis, tidak bisa saya genggam kembali alias hilang dalam perjalanan dari Ibu Kota Negara menuju Ibu Kota Provinsi.

 

Untungnya, mas dengan sigap dan kecepatan bak sonic the hadgehog  langsung memback-up data dan berhasil memindahkan data-data ke gawai  yang baru. Syukurlah, walau catatan hingga sekarang, belum saya temukan, namun foto yang saya gunakan di bagian header itulah bisa mewakili memorabilia tahun baru Islam pasca Aliyah.