Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Herinneringen aan Kosthuizen (2)

 

Hal itu terjadi karena mbah memikirkanku. Saya ingat, ketika saya sakit, ialah yang merawatku. Di pagi hari, si mbah sudah menyalakan kompor untuk masak dan tak lupa ia membuatkanku segelas teh hangat.



 

Si Mbah juga tak lupa mengingatkanku untuk mencuci baju, mematikan pompa air ketika habis mandi, dan mengambil jemuran di tempat yang hampir mirip dengan loteng. Ketika bulan Ramadhan tiba, sayup suara lantunan ayat suci terdengar di telinga, ketika aku meletakkan pakaian agar terkena sinar matahari keesokan harinya.

 

Saya tidak memiliki jadwal pasti untuk mencuci baju. Saya usahakan ketika tidak ada jam kuliah atau hari libur, saya upayakan untuk membersihkan tumpukan pakaian antara satu-dua pekan yang lalu. 

 

Ketika di indekos, mbah sangat perhatian pada anak-anaknya. Tak hanya anak kandung, melainkan juga anak kosnya. Ketika ada yang belum pulang, tak jarang tersurat wajah resah dan gelisah di pipinya yang jamak ditemui kerutan.

 

Ketika saya tidak merebahkan badan di indekos, pulang dini hari, atau ada agenda di luar kota, tak lupa aku berpamitan terlebih dahulu kepada mbah. Dan ketika pintu kamar kosku tertutup, tak jarang mbah mengetuknya. Misalnya kalau mbah sedang menggoreng singkong, membuat gedang goreng, tempe, dan lain sebagainya, ia tak melupakan penghuni rumahnya.

 

Rumah tingkat satu itu, amat sangat berkesan bagiku. Apalagi lorong-lorong untuk menuju ke sana. Gema azan yang terdengar hingga kamar, kepulan asap penjual satai, penjual nasi campur, nasi goreng, bakso, dan sebagainya. Juga menjadi semacam pertanda alam, dimana ketika mendengar suara tertentu, aku harus bergegas melangkahkan kaki menuju kampus.

 

Melewati lorong-lorong yang cerah di pagi hari, sorak-sorai anak-anak sekolah, pedagang, dan cuitan burung mengiringi langkah kaki. Juga menyebrang ke jembatan, setelah melalui jembatan yang tidak terlalu besar dan panjang juga warna-warni ketika Agustus, saya biasanya berhenti di sebuah warung makan yang menyatu dengan sebuah rumah. Warung pecel Pak Brengos, menjadi jujukan ketika sarapan tiba. Setelah makan nasi pecel khas Suroboyo itu, tak lupa aku selalu memesan air putih dan secangkir kopi. Apabila saya bangun lebih awal, saya akan menikmati makan pecel dengan remukan rempeyek, mencecap kopi dengan santai, dan tak lupa memantau gawai.


Kedekatan antara penjual dan pembeli tercipta. Ketika aku agak lama tidak makan di warung itu, pasti Pak Brengos senantiasa bertanya dan mengharapkan kehadiranku. 

 

Ketika buru-buru, saya langsung menuju ke kampus. Dan ketika Sang Surya tenggelam, lahirlah keramaian di sekitar pasar. Lalu-lalang orang, kepulan asap penjual nasi goreng, dan lain sebagainya.

 

Itulah, sepercik kisah tentang herinneringen ann kosthuizen atau kenangan tentang indekos. Mohon maaf, apabila judulnya menggunakan bahasa Belanda, dan apabila kurang sesuai sila beri komentar. Sebab pengalaman saya belajar bahasa Belanda, hanya bia memperoleh nilai yang cakep alias C, wqwqwq. Dan saya yakin dan percaya banyak jalan menuju Negeri Van Oranje, sekarang 'mungkin' kebanyakan orang memandangku dengan Belanda semakin jauh, padahal amat sangat dekat antara Belanda dan aku. 


Ketika membahas tentang indekos, tidak bisa lepas dari keluarga mbah ketika melangkahkan kaki ke Surabaya, tak lupa aku mengunjunginya. Dan segala sesuatu yang ada disekitarnya, seperti lorong-lorong menuju kampus, keramaian pasar, Negeri Van Oranje, dan lain sebagainya.