Herinneringen Aan Kosthuizen (1)
Akhir-akhir ini, indekos menjadi
sesuatu yang senantiasa terbesit dalam fikiran. Karena, beberapa hari yang
lalu, nenek tua yang merawatku disaat aku di perantauan, berfikir tentangku dan Tuhan mentakdirkan diriku sebagai bunga tidurnya.
Apa
kabar kawan-kawanku di berbagai penjuru bumi? Ucap syukur pada tuhan yang Maha
Esa, karena ia telah memberi nikmat pada kita semua. Alhamdulillah, bisa
kembali menghidupkan blog dengan tulisan ini. Setelah beberapa hari yang lalu
kuberkelana di desa-desa. Bukan menjadi pengadi pemerintah, ataupun pengabdi
siapa pun itu.
Di
tengah kesibukan yang tidak terlalu sibuk-sibuk amat. Di tengah pandangan orang
sebagai pengacara alias pengangguran banyak acara, namun aku tidak pernah
merenungkan secara mendalam apa yang dikatakan orang, aku lebih suka merenung dengan
tulisan-tulisan tokoh, seperti Gus Dur, Bung Mahbub, dan lain-lain. Dan
tentunya, di tengah pandangan diri terhadap diri sendiri sebagai Hamba Tuhan
Yang Maha Esa.
Kali
ini, saya akan bercerita tentang indekos. Bukan cerita lengkap, karena
selengkap-lengkapnya cerita, saya yakin dan percaya ada bagian kecil yang terlupa,
dan baru sadar pasca menerbitkan tulisan. Benar gak? Wqwqwq.
Saya
menulis tentang indekos yang menjadi saksi bisu ketika aku ditakdirkan oleh
Tuhan untuk hijrah ke Kota Pahlawan.
Beberapa
hari yang lalu, gawai yang biasanya saya bawa ke mana-mana tidak bisa aktif
seperti biasa. Karena charger yang saya gunakan agak bermasalah. Lebih banyak
hidup tanpa gawai, seperti aku yang dulu, hidup dengan pena dan buku, sesekali
bermain bersama kawan. Dan menjadi pengabdi warnet yang berada di bilangan
jalan.
Ketika
berada daerah yang menurutku Lubukkoud, beberapa pesan muncul di gawai.
Ndilalah, salah satu di antara keluarga yang menampungku ketika berada di
indekos muncul di gawai. Dulu, saya agak khawatir, ketika ada nama keluarga
indekos yang diberi pesan oleh pemilik indekos, misalnya tentang tagihan,
anjuran untuk menutup indekos dari dalam, dan lain sebagainya.
Beruntung
saya berada di indekos yang panas apabila tidak menyalakan kipas angin. Dimana
sih, tempat yang dingin di Kota Pahlawan? Hehehe. Saya bersyukur, berada di
indekos yang tidak terlalu besar, hingga terkadang ketika musim hujan
senantiasa membuat diriku was-was.
Bukan
was-was karena disuruh pulang lebih awal oleh nenek indekos, apalagi menunggu
kepastian dari do’i. Was-was itu timbul dikarenakan air hujan yang ingin
bertemu denganku, atau air hujan itu ingin melihat bagaimana aku tertidur pulas
setelah menjalani kegiatan yang menurutku agak padat, khususnya pada hari senin
dan kamis.
Aku
benar-benar rindu nuansa itu. Aku berikrar, suatu saat nanti, aku akan kembali
ke Kota Pahlawan dengan kondisi yang berbeda. Hadir dengan beberapa karya,
bukan tanpa apa-apa. Selain itu, aku juga rindu, tidur bersama botol-botol
bekas yang memenuhi ruangan indekos.
Itulah
gambaran dari indekos yang saya gunakan tidur. Sebelum itu, saya pernah dalam
waktu yang singkat, tidur di sebuah pesantren, tidur di terminal, dan
menghabiskan malam di beberapa warung kopi yang ada di berbagai penjuru bumi.
Namun
pada bagian ini, akan menuliskan tentang indekos. Karena nenek atau yang bisa
saya sapa mbah bilang kepada anak dan
cucunya. Kemudian anaknya, memberi tahu kepada saya lewat gawai kalau mbah
beberapa kali dalam tidurnya senantiasa menyebut namaku yang terdapat dalam
kamus bahasa Hindu ‘Yogi’.
Bersambung….