Wawancara Eksklusif Bersama Diki Alamzyah, Dari Karya hingga Merawat Optimisme Berdesa
Suatu kebanggaan bisa wawancara eksklusif secara daring bersama Diki Alamzyah. Siapa sih yang tak kenal dengan pria dari Desa Temayang itu? Hehehe.., pria yang telah melahirkan beberapa karya tulis berupa buku solo maupun antologi. Salah satu karya yang beliau berikan kepada saya secara cuma-cuma alias gratis yaitu Goresan Tinta Pelacur di Sudut Kota ketika ngopi di warung K-Noman yang berada di Desa Campurejo, Kec. Bojonegoro.
Sembari menikmati pemandangan dan
dinginnya sawah yang peteng dedet, hanya cahaya warung, gawai, dan tentunya
rumah-rummah yang berada di sekitar sawah serta lampu penerangan jalan menjadi
pengindah obrolan di malam itu.
Obrolan mengalir begitu saja, namun
saya tidak sempat mendokumentasikan dalam wujud uraian panjang. Hanya foto
bersama beliau dan sedikit deskripsi melalui tulisan status WA. Nah, kebetulan beberapa hari yang
lalu teringat kalau saya pernah bertemu dan ngansu kaweruh dengan beliau
terkait dunia kepenulisan, aktivisme berdesa, rondo Bojonegoro dan sebagainya.
Bisa dibilang, Cak Diki (begitu saya sebut) merupakan salah satu penulis muda dari Bojonegoro yang energik, produktif, dan istiqomah. Namun dia enggan disebut sebagai penulis, lebih suka disebut penikmat literasi. Ngomong-ngomong soal penulis dari kabupaten dengan makanan khas Sego Buwohan ini, telah melahirkan beberapa penulis misalnya Siti Femi Listiana, Rahayu Lestari Puji, Diki Alamzyah, dan lain-lain.
Tidak lupa ketika wawancara
eksklusif dengan Cak Diki yang sedang mendata nomor WA rondo se-Bojonegoro beliau
memberikan pandangan tentang dunia literasi di Bojonegoro, motivasi karena dia
menulis, pelajaran tentang cinta, dan tentunya pesan serta kesan Cak Diki
tentang kanal yang selalu mengabarkan degup kebahagiaan, one and only Jurnaba.co.
Pria jomlo yang gemar ngopi juga membaca itu, berkenan saya wawancarai walau janjiannya malam hari tetapi WA Cak Diki baru aktif di pagi hari. Karena ada pandemi beliau bilang jarang melekan sekarang. Tetapi di hari-hari biasa beliau mungkin aktif 24 jam untuk memberi petuah dan menerima curahan hati dari kawan-kawannya, baik itu tentang percintaan, literasi, dan sebagainya.
Pagi harinya sembari ngopi di rumah beliau
meyempatkan diri untuk menjawab ragam pertanyaan semrawut dari saya tentang
wanita pendamping hidup dalam jaringan (daring) alias online.
Penasaran bagaimana interview eksklusif saya dengan Diki Alamzyah? Berikut hasil interview eksklusif bersama Cak Diki, diolah dari beragam sumber:
Assalamualaikum Cak Diki, apa kabar di pagi hari yang cerah ini?, semoga
rahmat Tuhan selalu tercurahkan pada kita semua. Ngomong-ngomong sedang ngapain
nih?
Waalaiakumsalam Mas Yogi, alhamdulillah baik dan aman. Iki lagi ngopi ples moco berita dino iki Mas, hehehe. Monggo ngopi di Temayang…
Wah…mantap Cak, matursuksma, ki aku yo ngopi nek Pohagung (Desa Campurejo),
wkwk..Oh ya Cak, mengingat sampeyan sudah menghasilakan beberapa karya,
motivasinya apa Cak? Berilah kalimat bagi mahasiswa yang masih gemar rebahan
ples jarang membaca seperti saya ini, hehe…
Kalau kaum rebahan tidak bisa dipungkiri akan menjadi orang yang bisa membawa perubahan Mas. Akan tetapi rebahan ya harus dibekali dengan keproduktifan membaca, menulis, diskusi, dan aksi tentunya.
Mantul (mantap betul) Cak. Oh ya, kalau buku yang diberikan ke saya
ketika menikmati kopi di K-Noman, isinya atau pesan yang ingin disampaikan
kepada pembaca?
Kalau Goresan Tinta Pelacur di Sudut Kota itu bak cambuk bagi saya dan pembaca. Terkadang kita hanya menjual kata-kata manis untuk sebuah kepentingan peribadi kita.
Subhanallah…mantap kali jawabannya. Terkait dunia literasi di daerah yang konon sebagai lumbung pangan dan wanita energi, bagaimana pandangan Cak Diki selaku pegiat literasi?
Wkwkwk…saya bukan pegiat literasi og Mas, hehe. Sebatas penikmati literasi. Saya sebatas orang Desa yang ingin mengubah mind side, bahwasanya; orang Desa juga bisa berkarya. Kalau kata Mas Vudu Abdul Rahman; Pemberontakan yang terbaik adalah berkarya dan bermanfaat kepada orang lain.
Btw, sedang baca buku apa Cak di tengah maraknya #dirumahsaja?
Sejarah Tuhan karya Karen Amstrong.
Waw…berat bukunya isinya, mantap….tabik……, Oh ya saya lupa, motivasi
paling besar Cak Diki wabilkhusus dalam berkarya apa nih? Orang tua?
Guru? Pacar? Atau apa Cak? Wqwqwq.
Motivasi terbesar sih ingat kata-kata yang terkenal dari Mbah Pram (Pramoedya Ananta Toer), pasti sampeyan sendiri sudah faham lah. Dan terpenting orang tualah sebagai motivasi. Sampai sekarangpun orang tua saya belum tahu kalau saya sudah hampir menerbitkan tujuh buku lebih secara solo/mandiri dan beberapa antologi (lupa berapa). Juga orang Desa harus bisa mencipatakan ruang-ruang di sudut Desa. Agar terciptanya budaya literasi. Menurut pandangan saya, Bojonegoro sendiri sebenarnya budaya literasinya sangat baik, tinggal pengembangan saja.
Woke…, pesan dan kesan Cak Diki untuk Jurnaba.co?
Gak bisa berkata-kata sih sebenarnya Mas. Pokoke mantap dan keren Jurnaba.co, media yang memaparkan dengan gaya tulisan santuy puool, renyah, dan enak di baca dalam segala kondisi apapun (terutama sambil rebahan di musim rebahan ini), wkwkwk.
Wasek, matur suwun wes pokoke, Oh ya, ini pertanyaan terakhir tapi agak
personal banget. Apakah benar Cak Diki sedang meneliti keberadaan rondo-rondo
di tanah air khususnya Bojonegoro, Jawa Timur?
Wkwkwk iki berbahaya. Lagi fokus pnelitian Taman Porang Mas. Dan menebar virus menciptakan ruang baca di setiap sudut pelosok Desa. Jadi kalau pertanyaan itu kita bahas kapan-kapan saja sembari ngopi di area Kota Bojonegoro. Hahaha
Sekali lagi Cak, pertanyaan terakhir dari yang terkahir, bagaimana
pandangan Cak Diki terkait jomlo itu sendiri (Jomlo Dadakan; merdeka dan
memberdayakan)? Dan apakah Cak Diki sudah memiliki incaran (pasangan hidup)
dalam rangka menyempurnakan separuh agama?
Iki gak perlu dijawab soale aku jek jomlo, kalau pandangan jomlo ya seng wes nikah. Kalau konsep jomlo dadakan (merdeka dan memberdayakan) saya setuju ae Mas. Asal tidak memberdayakan perempuan untuk dipacari. Hargailah perasaan perempuan Mas, hehehe. Karena saya pernah setia dan itu disia-siakan. Dari situ saya belajar untuk mengikhlaskan dan malah menghargai seorang perempuan Mas. Wkwkwk, kalau incaran jelas Mas sudah ada. Akan tetapi di angget ui lo mbuh, gelem pora mbek aku, hehehe
Hiks…subhanallah, mak jleb plus
mak nyes nih nasehat atau kalimat
yang diutarakan, terurama bagi saya penganut dan pendiri istilah Jomlo Dadakan
yang beberapa waktu lalu mendapat kritik brutal dari kawan saya, Muhammad
Sidkin Ali. Thak you Cak, sampeyan berkenan meluangkan waktu wawancara bersama
saya yang masih amatir dan belajaran ini, hehe…. Ada pesan untuk Imam Besar
Jurnaba (Bung Wahyu Rizkiawan)?
Idola pokoke. Tapi sayang belum pernah berbincang dengan Imam Besar Jurnaba. Ya, siapa tahu suatu saat mau dihadirkan menjadi narasumber literasi di Desa Mas.
Woke, pesan diterima (centang biru). Siap Cak, selamat menjalankan
aktivisme semangat berdesa, dan semoga terus menginspirasi…….
Oke-oke dilanjut ngopi sok,
hehe……………………..