Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ngopi Padang Bulan bersama Bung Muchlis (Generasi Penerus Arya Bangah)




Perjalanan ngopi tak akan berhenti. Ia akan senantiasa berlayar. Menyebrangi pulau-pulau, negara, dan sebagainya.
 

 



Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan ngansu kaweruh bersama Bung Muchlis. Tak lupa saya mengucapkan syukur, karena Tuhan Yang Maha Kuasa memberi kesempatan di malam itu untuk bertemu.

 

Saya ngopi di depan rumahnya yang berada di Kecamatan Rengel, Tuban. Malam hari saya menunggangi motor menuju Tuban. Lalu-lalang kendaraan, bangunan, aliran sungai Bengawan Solo, angin malam, dan lain-lain menjadi saksi bisu laju kendaraan di malam itu.

 

Berkendara dengan santai, tak jarang ide-ide nyeleneh, receh, dan lucu muncul dengan sendirinya. Berbicara sendiri ketika berkendara menjadi kebiasaan. Kecuali kalau melewati area pemakaman dan hutan mungkin gema shalawat yang akan keluar dari mulut secara spontan.

 

Tak ada rencana, bisa dikatakan tulisan ini lanjutan dari Ngopi 5 Mei. Kalau ngopi yang bertepatan dengan padang bulan (Juli) kali ini, dalam rangka ngangsu kaweruh dan memberikan buku. Sebelumnya Bung Muchlis pesan buku Pendidikan di Era Disrupsi dua buah. Alhamdulillah sudah datang dan saya harus mengantarkan kepadanya.

 

Saya memilih jalur Jalan Lettu Suyitno, kemudian melintasi Sungai Bengawan Solo dengan Jembatan Glendeng. Menuju Kecamatan Soko, dan mengikuti arah jalan raya hingga sampai ke rumahnya. Baru pertama ini, saya silaturahim di rumah Muchlis. Sempat kesasar, maklum baru pertama dan karena sinyal kurang mendukung, jadinya Bung Muchlis tidak bisa share loc.

 

Terdapat sebuah gang berwarna hijau dengan lambang Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Tuban. Dengan brog (tempat duduk) di depannya. Kemudian saya melewati sebuah masjid dan berhenti di depan rumah. Saya mengeluarkan gawai dari saku celana dan menghubungi Muchlis. Kemudian dari arah belakang, ada seorang mengenakan kaos dan sarung. Ya, itulah Muchlis.

 

Sepeda motor saya putar balik. Dan menuju ke arah rumah Muchlis. Desanya membawaku pada kenangan-kenangan masa lalu. Seperti posisi kandang sapi yang berada di depan rumah, sumur kerek yang berada di depan rumah juga, dan tentunya bau-bau sedap yang timbul dari kandang sapi. Kepulan asap di sekitar rumah Muchlis, menambah kesyahduan malam itu. Sinar rembulan yang menerangi cakrawala menjadi saksi bisu obrolan dua anak Adam.

 

Di malam itu Bung Muchlis mengenakan kaos Gusdurian. Memang, beliau merupakan nahdliyin yang progresif di desanya. Ketika kawan-kawannya memilih bekerja di tambang batu. Muchlis bisa dikatakan visioner. Beliau memilih kuliah terlebih dahulu. Dan ingin memberikan perubahan ke arah yang lebih baik untuk desa kelahirannya.

 

Obrolan terjadi di depan rumah. Dekat dengan pohon mangga. Tidak ada nyamuk yang berani menyerang kami, mungkin ada bau sedap yang timbul dari sekitar kandang sapi. Hal itu bak obat nyamuk alami.

 

Dua buah kursi dan satu meja disiapkan. Kemudian tak lupa saya memberikan dua buku pesanannya.

 

Obrloan ngalor ngidul terjadi. Mulai dari aktivitas selama pandemi, organisasi, dinamika kampus, dan lain-lain. Tak lupa, Muchlis menyiapkan kendi, jajan, dan uborampe yang lain. Bagi saya, air yang keluar dari usaha mencekik leher (kendi) senantiasa mengalir dalam denyut nadi. Sebab hingga sekarang, keberadaan kendi di rumah saya tidak pernah alpa dalam kehidupan sehari-hari. Ketika pecah, ganti lagi. Kita masih bisa menemui keberadaan kendi di pasar tradisional.

 

Teh hangat juga menjadi penghangat suasana malam itu. Obrloan ngalor ngidul. Dari sejarah desa, sosiologi pedesaan, tradisi, adat istiadat, dan lain-lain. Bung Muchlis juga memberi informasi tentang keberadaan makam keramat di desanya. Juga memberi informasi tentang tanah yang digunakan untuk menghabisi nyawa-nyawa orang yang tak berdosa dikarenakan perbedaan pandangan politik.

 

Bung Muchlis juga bercerita, kalau di depan rumahnya digunakan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat sekitar. Ketika pagi-siang, banyak anak-anak yang bermain dan belajar di sana. Ada yang lari-lari, membaca buku, mewarnai, berdiskusi, dan sebagainya. Hal tersebut juga merupakan tanggung jawabnya sebagai akademisi (mahasiswa) yakni menunaikan tri dharma perguruan tinggi seperti pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

 

Saya banyak belajar darinya. Kemudian orbloan di depan rumah Bung Muchlis berakhir. Sebelum berakhir, mengingat Bung Muchlis sebagai seorang santri (salaf) ia tahu, bagaimana cara memuliakan tamu. Kemudian Muchlis mengajak saya ke sebuah warung yang berada di depan gang.

 

Kami menikmati nasi goreng dan teh hangat. Ketika makan, tiba-tiba lampu padam. Hal itu menyababkan suasana peteng dedet. Mengingat warung dekat sawah. Tak lama kemudian, lampu menyala.

 

Ada beberapa orang juga yang sedang pesan makanan. Juga ada bapak-bapak habis dari sawah dalam rangka berburu dan membeli makanan di warung. Menjelang dini hari, kita mengakhiri pertemuan dengan Bung Muchlis yang merupakan generasi penerus Arya Bangah.

 

Jalan Raya Rengel menjadi saksi bisu perpisahan di malam itu. Kemudian saya berkendara menaklukan gelap dan dinginnya malam. Sesekali terlihat nyala cahaya di areal persawahan. Itu merupakan orang yang sedang mencari belut, katak, dan sebagainya. Kebetulan di Tuban juga menjelang pemilihan kepala daerah. Foto-foto calon pemimpin daerah terpasang di sekitar jalan raya, dan tentunya juga ada yang melukai pohon.

 

Satu hal yang berkesan dalam safar malam itu, ialah napak tilas jalur wisata ketika masa anak-anak. Bersepeda motor bersama kawan, liburan di Goa Ngerong, dan menikmati jagung di pinggir jalan. Bagiku, itu merupakan kenikmatan. Dan ucap syukur pada malam itu, bisa mengulang kembali memorabilia masa lalu.

 

Alhamdulillah, selama perjalanan tidak ada hambatan. Dan sampai di surga pojok kota, Pohagung dengan selamat dan bahagia.

 



Juli, 2020