Ngopi 5 Mei; Antara Kita, Corona, dan Masa Depan
Setiap
pertemuan, dibaliknya terdapat pelajaran. Ada hubungan sebab akibat
mengapa pertemuan terjadi. Begitupun dengan pertemuan 5 Mei yang terjadi malam hari di masa pandemi.
Beberapa
hari yang lalu. Saya mengunggah hasil karya berupa buku antologi dengan judul
Pola Pendidikan di Era Disrupsi. Buku tersebut salah satu alasan dari beragam
alasan pertemuan 5 Mei yang dibalut dengan ngopi. Mengingat, beberapa daerah
memberlakukan PSBB, namun Bumi Wali (Tuban) tidak sama dengan Bojonegoro.
Soko
misalnya, merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Tuban yang
tergolong masih ramai dikala ngabuburit maupun malam hari hingga fajar
menjelang. Kebetulan beberapa hari yang lalu, kami telah membuat perjanjian
untuk menikmati secangkir kopi dalam satu meja.
Ngopi
yang terjadi pada 5 Mei 2020 itu, bersama Bung Muchlis dan kawannya. Saya lupa
tidak bertanya siapa nama kawan yang membersamai Bung Muchlis untuk ngopi.
Sebelum
berangkat, saya tidak memiliki tujuan apa-apa selain bisa bertemu dengan Bung
Muchlis dalam rangka silaturahim wabilkhusus membahas tentang buku dan segala sesuatu.
Mengingat
masih berada di Ramadhan pandemi, saya mengenakan masker dan topi hitam yang
ada lambang bendera Indonesia, topi itu sering saya gunakan untuk berkelana. Tentunya
juga mengenakan helm yang penuh dengan
sticker yang biasa saya gunakan saat berkendara kemanapun arah tujuannya.
Dari
surga pojok kota (Pohagung), sepeda motor melaju ke sebuah titik tempat biasa
kita ngopi.
Ngopi
di tempat biasanya (di depan Kantor Kecamatan Soko) tutup. Bung Muchlis dan
kawannya sudah menunggu. Dengan pakaian ala santri yaitu songkok dan sarung
mereka menunggu dengan sabar di depan warung yang tutup.
Saya
tiba, dan mereka agak heran sebab saya mengenakan masker. Setelah sedikit
bernegosiasi akhirnya kita memutuskan untuk ngopi di warkop yang berada di
sekitar SMPN 1 Soko.
Ritual
ngopi dimulai. Perbincangan mengalir dengan sendirinya. Tidak lupa untuk
menanyakan kabar, juga kesibukan sebab telah lama tak bersua. Mungkin hanya
bersua melalui dunia maya seperti menekan aksara demi aksara yang terwujud
dalam bentuk pesan WA. Banyak sekali yang kita bahas misalnya tentang dunia
tulis menulis, tak jarang canda dan tawa menjadi pemanis dalam kegiatan itu.
Berbicara
juga tentang dunia perkuliahan, aktivisme selama pandemi, dan lain-lain.
Sesekali obrolan berhenti sejenak untuk meneguk segelas kopi yang sudah tersaji
di meja. Rasa syukur yang tak terkira bisa menikmati secangkir kopi bersama
sahabat. Obrolan dari hal-hal yang sepele hingga berbicara tentang masa depan
yang abstrak.
Mengingat
Bung Muchlis merupakan salah satu aktivis yang lihai dalam dunia pergerakan
juga menceritakan mengenai pandangannya ke depan, dinamika akademis kampus
tertua di Bojonegoro, usaha-usaha untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih
baik (progresif) pada diri dan organisasi.
Sesekali,
saya juga memancing obrolan dari kawan Bung Muchlis. Mengingat, dia juga
merupakan aktivis pergerakan yang sedang mendalami kajian ilmu
kelautan/oseanografi. Hal tersebut mengingatkan saya pada begawan hukum laut
Indonesia seperti Mochtar Kusumaatmadja. Juga segala sesuatu yang ada kaitan dengan law of the sea seperti RZWP3K, kegiatan di Pulau Pari, dan
diskusi di Kota Hujan (Bogor). Kawan Bung Muchlis juga
membahas mengenai isu-isu terkini tentang dunia maritim.
Mengingat
mereka dari satu kecamatan, mereka juga bercerita tentang kondisi sosial,
ekonomi, politik, dan budaya masyarakat mereka tinggal. Obrolan mengalir bak
mata air, dan tak terasa waktu menjelang dini hari. Kemudian kita berpisah,
serta tidak lupa Bung Muchlis membayar uang untuk memesan buku Pendidikan di
Era Disrupsi yang baru saja terbit. Meja, cangkir kopi, lampu, orang-orang dan
kendaraan yang lalu-lalang menjadi saksi bisu pertemuan di malam itu.
Langkah
kaki menuju jalan keluar dan bersiap memacu kendaraan. Setelah mesin kendaraan
berhasil dinyalakan. Kemudian kita melajukan kendaraan berlainan arah. Saya
menuju arah sungai bengawan Solo yang memisahkan antara Desa Soko (Tuban)
dengan Kalirejo (Bojonegoro), menyebranginya via jembatan Glendeng. Ketika
menyebrangi jembatan Glendeng, teringat kisah pertempuran serdadu yang
dikisahkan dalam buku Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Bojonegoro.
Bung
Muchlis dan sohibnya menuju arah pulang. Saban pertemuan, juga ada perpisahan.
Udara yang berhembus dan elemen cakrawala seperti bulan dan bintang 5 Mei juga
menjadi saksi bisu aktivitas kita. Kita berpisah untuk sementara waktu, itulah
sedikit cerita ngopi 5 Mei tentang kita, corona, dan mencoba menyongsong masa
depan lebih baik tentunya. Dengan cita-cita, harapan, dan gerakan-gerakan
progresif yang bermanfaat bagi sekitar.
Bojonegoro, 6 Mei 2020