Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Esa


Bagaimana caramu menyikapi bulan baru? Apakah mencari kawan baru? Membeli buku baru? Ngopi di warung kopi? Ada beragam cara yang bisa kamu lakukan, salah satu di antaranya dengan melahirkan karya. 





Berikut puisi yang kelihatannya terlahir pada tanggal 1 April 2020 di Pohgaung dan menjadi debut saya dalam rangka menghidupkan blog pertikelir ini. Judulnya hanya "Esa". Apa yang terngiang dalam fikiranmu ketika mendengarkan kata esa? Apakah sila pertama pada Pancasila yang dibaca, Ketuhanan yang Maha Esa? Atau mungkin kamu punya kawan dengan nama Esa? 


Setiap orang bebas menfsirkan apapun itu. Namun tafsiran terhadap segala sesuatu, seyogianya saban orang juga berpikir ulang tentang sebuah tafsiran yang dikemukakan oleh seseorang. Siapa yang menafsirkan? Jangan-jangan anak kemarin sore yang baru tahu, "ini susu", "itu sapi", "Budi tidur". Dalam setiap penafsiran yang diutarakan kita setidaknya tahu kapasitas sesorang. Apakah ia benar-benar expert di bidangnya dan memiliki guru. Atau hanya ingin gaya-gayaan saja tanpa berguru, dan berharap agar masyarakat mengikuti.


Bahkan ada juga yang ngotot berbicara tentang "kebenaran" namun belum begitu tahu apa itu "kebenaran". Kemudian didebat tidak terima. Apakah itu sosok pemimpin umat?  


Jika terjadi dialog dan perdebatan yang sengit tentang suatu hal, ada beberapa opsi yang bisa dilakukan. Seperti menerima, membantah, diam, membiarkan, menjauhi, dan sebagainya. Mengingat dunia ini beragam akan segala sesuatu. Keberagaman aliran kepercayaan, organisasi, suku, budaya, jenis jin, dan lain-lain. 


Baik, tidak usah panjang lebar saya ingin memposting puisi. Sebelumnya postingan di blog ini kurang rapi (baru belajar pakai blogger). Maka dari itu saya edit kembali dan saya beri tambahan kalimat, hehe. Kalau puisi saja tampilannya kurang matoh. 


Berikut puisinya. Sila beri tanggapan berupa kritik, komentar, dan sebagainya. Cekidot.... 

Esa

By: Yogi Alur

Esa menggiring keluar
mengajak menikmati padang malam,
menarik tangan mengajak menyambung kata yang hilang
menyempurnakan kata-kata yang hilang dimakan rembulan,
walau aku sedang bermesra dengan pena dan kopi,
Esa tak akan pernah mati, rayuannya melambai-lambai
membuat tak kuasa sanubari,
Esa....
dimana engkau berada?
di bilik gubuk kecil tak beratap itu?
apakah terselip indah di bangku gereja tua?
atau di senyum manis Bunda Maria?
atau bermukim di surau reyot yang tak berpenghuni?
Memang....
engkau penuh dengan tanda tanya
akupun tak tahu bagaimana wujudmu
bagaimana rupamu
namun aku yakin dan percaya engaku ada,
Buktinya engkau menggiringku di gelap malam
menepis candu yang menggebu,
terganti oleh tarian jari saban pagi
Itulah Esa....
sebagai pengawal goresan pena
mengetok pintu di dunia maya
begitupun dengan alam nyata,
Oh Esa.....
Candamu bukan cendawan harimau
obat dari segala sakit, terutama dikala rindu menggebu
Oh Esa...
rahmat bagi semesta alam
tidak butuh pembelaan .






Pohagung, 1 April 2020